Ramalan Utopia dalam Politik dan Mobilisasi Massa di Jawa

Di dalam buku Kritik dan Penelitian Sastra Edisi Kedua (2023), bisa disimak penjelasan berdasarkan pembacaan cermat (close reading) atas teks-teks Jangka Jayabaya dan Serat Darmogandhul. Hasil pembacaan ini sebenarnya menguatkan dari beberapa kajian sebelumnya mengenai peran ramalan utopia dalam politik dan mobilisasi massa di Jawa. Ada beberapa buku dan artikel yang bisa dibaca terkait dengan isu ini. Sebagai contoh, buku karya Bernhard Dahm (1969) bisa dibaca mengenai penggunaan Jangka Jayabaya yang awalnya digunakan oleh Jepang di dalam menarik simpati masyarakat Jawa selanjutnya malah kurang lebih menjadi bahan kampanye Sukarno di dalam tubuh PNI. Isi dari Jangka Jayabaya yang disosialisasikan ini adalah kedatangan bangsa berkulit kuning untuk mengusir bangsa Eropa. Di dalam buku terbitan 1948 yang ditulis dengan pseudonim Tjantrik Mataram, Jangka Jayabaya dipergunakan sebagai justifikasi dari penerimaan akan kedatangan Jepang menggantikan penjajah Belanda. Bait ramalan yang diklaim berasal dari Jangka Jayabaya dijadikan bukti akan hadirnya bangsa berbadan agak pendek dari Nusa Tembini sebagai penanda terusirnya bangsa Kulit Putih.

Tentu saja bagi mereka yang menganggap bahwa teks yang menyebut Nusa Tembini dan badan agak pendek benar merujuk pada bangsa Jepang, isi dari buku karangan Tjantrik Mataram dianggap menceritakan terwujudnya ramalan dari masa lalu. Selanjutnya, mereka akan terpengaruh untuk terlibat di dalam gerakan mobilisasi massa di bawah komando pemimpin Sukarno yang seolah identik dengan Sang Herucakra. Masalah lainnya, paragraf tersebut sengaja ditafsirkan dengan menyimpang hanya agar dapat menjadi penyokong gerakan revolusi Indonesia di bawah komando Sukarno. Masalah lainnya, sebenarnya nama Jayabaya yang memang ada di dalam sejarah Jawa sebagai raja dari Kerajaan Kadiri juga dicatut sebagai pengarang teks Jangka Jayabaya. Berdasarkan catatan sejarawan, Raja Jayabaya tidak pernah meninggalkan teks berwujud jangka.

Perihal penggunaan ramalan mengenai keadaan yang bakal baik dan akan tercapai suatu kemakmuran atau utopia merupakan hal yang sudah menjadi tradisi lama di dalam masyarakat Jawa. Di dalam tulisannya, Thomas Anton Reuter (2016) menunjukkan bahwa penggunaan ramalan dari masa lalu untuk menarik simpati massa atau memobilisasi massa oleh politisi Jawa adalah hal yang lumrah terjadi dalam lintasan sejarah politik di Jawa. Sukarno adalah salah satu tokoh politik terkemuka yang mengusung penggunaan ramalan dari masa lalu di dalam aktivitas politiknya. Sesudah Sukarno, pendukung Suharto adalah berikutnya. Jika Sukarno kental dengan penggunaan ramalan Jangka Jayabaya, para pendukung Suharto menggunakan Serat Darmogandhul (melalui karakter Sabdopalon atau Sabdo Palon) di dalam aktivitas politik mereka. Tidaklah mengherankan bilamana pengukuhan arca Sabdapalon, yang sebenarnya tidak pernah ada, juga muncul pada zaman kekuasaan Suharto. Oleh karenanya pe-wujud-an Sabdo Palon adalah sesuatu yang penting secara politik bagi pendukung Suharto saat itu. Ini kelindannya bisa kita simak di dalam penjelasan Fransiskus Asisi Suhariyanto, sejarawan pemilik kanal Asisi Channel, dalam video berjudul Ancient Civilization in the Slope of Mount Lawu, Near Borobudur Temple (2021). Arca Sabdo Palon yang ada di Candi Cetho bukanlah arca Sabdo Palon kecuali memang ditetapkan sebagai arcanya Sabdo Palon. Suhariyanto secara implisit mengatakan bahwa karakter Sabdo Palon adalah karakter fiktif yang tidak pernah ada di dalam sejarah. Lihat pula bagaimana akademisi sekelas Damardjati Supadjar bisa khilaf menggunakan logika gothak-gathuk Jawa sehingga sampai pada lahirnya signifikansi tahun 1978. Apa yang dikemukakan oleh Thomas Anton Reuter mengenai penggunaan ramalan untuk menggerakkan massa di Jawa atau tujuan politik tertentu tersebut jauh sebelumnya juga sudah dibahas oleh George Quinn (1983). Quinn memberikan contoh pada tahun 1946 ada tulisan dari Bratakesawa yang mengajak para pembaca untuk mencermati ramalan dari masa lalu yang ada di Serat Jaka Lodhang untuk bersiap sedia mengikuti arahan Presiden Sukarno.

Pada masa yang lebih modern, seorang politikus dari partai besar di Indonesia menyebut-nyebut ramalan yang ada di Serat Darmogandhul yang berisi mengenai janji Sabdo Palon (lih. Birsyada, 2016). Masalah dari penggunaan ramalan ini justru terletak pada kefiksian status Serat Darmogandhul. Di dalam Kritik dan Penelitian Sastra Edisi Kedua, Nugraha dan Suyitno melalui pembacaan cermat teks menyodorkan beberapa hal yang membuktikan aspek kefiksian teks Serat Darmogandhul. Mereka membandingkan kronologi dan konten Serat Darmogandhul dengan sejarah Jawa berdasarkan prasasti dan sumber primer lainnya dari sejarah Jawa. Ada beberapa hal, tetapi bisa disebutkan tiga hal atau fakta sejarah yang paling mencolok adalah nama raja terakhir Majapahit (yang aslinya bukan Brawijaya), status Patih Gajahmada (yang aslinya sudah meninggal jauh sebelum runtuhnya Majapahit), dan bagaimana serta kapan Majapahit runtuh (aslinya tidak terjadi pada tahun 1478 Masehi). Ini adalah tiga hal yang mencolok. Ada hal-hal lainnya yang dipaparkan sangat detail oleh Nugraha dan Suyitno (2023) sekaligus mendudukkan konteks munculnya atau dikarangnya teks Serat Darmogandhul dengan situasi sosial politik di Jawa saat itu.

Adapun mengenai fakta sejarah dari Kerajaan Majapahit tersebut, bisa dirujukkan pada artikel-artikel akademik yang merujuk pada sumber primer sejarah Jawa, misalnya karya Noorduyn (1978), Birsyada (2016) dan Putra & Nasution (2021), khususnya mengenai kehancuran Majapahit yang disebut dan menjadi keyakinan umum terjadi pada tahun 1478 disebabkan oleh serangan kerajaan Islam. Berdasarkan penjelasan sejarawan, bukan berdasarkan praduga atau khayalan, tahun 1478 terjadi geger besar di dalam Kerajaan Majapahit sebab terjadi konflik dan pembunuhan di antara dua keluarga bangsawan penguasa Majapahit. Dari angka tahun 1478 ini, Serat Darmogandhul yang menghadirkan karakter fiktif Sabdo Palon mendapatkan signifikansinya berkenaan dengan ramalan utopia tanah Jawa pada rentang selisih 500 tahun sesudahnya, atau tahun 1978, bahkan terus dipercaya oleh sebagian orang di Jawa meskipun tahun 1978 sudah lewat begitu lama (bdk. Wardayati, 2021).

Itu semua belum ditambah misalnya Serat Darmogandhul kentara mengadopsi tema yang ada di dalam Babad Kadhiri, satu naskah yang ditulis berkat suruhan pejabat Belanda pada sekitar tahun 1870-an yang konon menggunakan narasumber pemain gamelan yang kesurupan (lih. Drewes, 1966). Yang jelas, di dalam Serat Darmogandhul disodorkan pandangan negatif mengenai bangsa Arab, Islam, dan Muslim sebagai perusak Jawa, sedangkan bangsa Barat, Bibel, dan Serani sebagai sesuatu yang baik. Bilamana Babad Kadhiri faktanya adalah satu naskah yang lahir berkat suruhan pejabat Belanda, tidaklah mengherankan apabila Serat Darmogandhul yang merupakan turunan dari Babad Kedhiri tidak jauh dari nada sanjung puji dan pro-Belanda. Adapun isu yang terkait dengan ketepatan Babad Kadhiri dengan sejarah sebenarnya wilayah Kediri, Babad Kadhiri masuk ke dalam kategori sastra sejarah atau novel fiksi sejarah; campuran dari kisah sejarah dengan khayalan atau imajinasi dari pengarangnya sebagaimana dibedah oleh Suyami dkk. (1999, pp. 9-11). Jadi, ada bagian cerita yang sesuai sejarah atau lokasi yang bisa ditemui di dunia nyata, tetapi bagian-bagian lainnya atau peristiwa yang terkait dengan kejadian atau lokasi yang ada di dunia riil merupakan hasil khayalan atau imajinasi pengarangnya.

Lepas dari itu semua, ada hal yang sebenarnya unik di dalam masyarakat Jawa. Meskipun sejarawan sudah lama membicarakan masalah itu semua, uniknya di dalam masyarakat Jawa masih ada orang yang menggunakan cerita-cerita ramalan utopia yang bersumber dari cerita-cerita karangan yang didaku berasal dari leluhur tersebut untuk kepentingan politik mereka dan masih saja ada orang-orang yang percaya.

Daftar Pustaka

Birsyada, M. I. (2016). Legitimasi Kekuasaan atas Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit dalam Wacana Foucault. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 24 (2), 311-332.
Dahm, B. (1969). Sukarno and the struggle for Indonesian independence. Cornell University Press.
Drewes, G. W. (1966). The struggle between Javanism and Islam as illustrated by the Sĕrat Dĕrmagandul. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, (3de Afl), 309-365.
Noorduyn, J. (1978). Majapahit in the fifteenth century. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia134(2), 207-274.
Nugraha, D. & Suyitno. (2023). Kritik dan Penelitian Sastra Edisi Kedua. Muhammadiyah University Press.
Putra, A. M. & Nasution. (2021). Dinasti Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dalam Kajian prasasti Petak Tahun 1486 M. Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, 11(1), 1-18.
Reuter, T. A. (2016). The Once and Future King: Utopianism as Political Practice in Indonesia. In P. Guerra (Ed.), Utopía: 500 años (pp. 293-315). Bogotá: Ediciones Universidad Cooperativa de Colombia.
Suhariyanto, F.A. (2021). Ancient Civilization in the Slope of Mount Lawu, Near Borobudur Temple. Youtube Asisi Channel. https://www.youtube.com/watch?v=1C4OLrXcfD8
Supadjar, D. (1994). Keterbukaan Pancasila sebagai Ideologi. Jurnal Filsafat1(1), 1-5.
Suyami, S., Nurhajarini, D. R., & Sutjiatiningsih, S. (1999). Tinjauan historis dalam babad kadhiri. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tjantrik Mataram. (1948). Peranan Ramalan Joyoboyo dalam Revolusi Kita. Masa Baru.
Wardayati, K.T. (2021). Punya Janji Legendaris untuk Kembalikan Kejayaan Majapahit, Inilah Sabda Palon, Penasihat Brawijaya V yang Murka Usai Sang Raja Memeluk Islam, Benarkah Akan Segera Terwujud? Intisari Online, 18 November 2021, https://intisari.grid.id/read/033001195/punya-janji-legendaris-untuk-kembalikan-kejayaan-majapahit-inilah-sabda-palon-penasihat-brawijaya-v-yang-murka-usai-sang-raja-memeluk-islam-benarkah-akan-segera?page=all
Quinn, G. (1983). The case of the invisible literature: Power, scholarship, and contemporary Javanese writing. Indonesia, (35), 1-36.

Tinggalkan komentar